Kamis, 18 November 2010

TARBIYYAH JINSIYAH (PENDIDIKAN SEKS) Dalam Kaca Mata Syariah Islam

Pendidikan seks menjadi wacana yang hangat dibicarakan saat ini. Hal ini dikarenakan pendidikan seks dianggap solusi permasalahan pergaulan bebas saat ini. Walhasil sekolah-sekolah pun ramai menjadikan program ini sebagai program wajib. Pergaulan bebas seolah menjadi hantu yang menakutkan bagi para orangtua khususnya yang memiliki anak-anak remaja. Bagaimana tidak, angka pergaulan bebas di kalangan remaja cepat meningkat setiap harinya. Hal ini dibuktikan dengan survey Badan pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Jawa Barat di enam kabupaten di Jawa Barat tahun 2009 diperoleh hasil: 29 % remaja pernah melakukan seks pranikah. Artinya jika jumlah remaja Jawa Barat 11 juta maka 3 jutanya pernah melakukan seks bebas. Fenomena perempuan yang sudah tidak perawan pun menjadi suatu hal yang “biasa” saat ini.

Ternyata ketakutan kita sebagai orangtua pun tidak berhenti sampai disini. Kendatipun anak kita tidak melakukan pergaulan bebas, tapi kita khawatir anak-anak menjadi korban maraknya peredaran video porno yang bisa berakibat pada tindakan pemerkosaan. Lihat saja, selama 10-23 Juni 2010 telah jatuh korban pemerkosaan sebanyak 30 orang yang dilakukan anak usia 16-18 tahun, sementara korbannya berusia 12-14 tahun. Para pelaku mengaku mereka memperkosa setelah menonton video mesum yang dilakukan oleh artis ternama. Tidak mengherankan, karena dalam kasus video ini dari 30 anak yang ditanya, 24 anak menyatakan sudah menonton video tersebut. Naudzubillahi min dzalik.

Kekhawatiran demi kekhawatiran terus menghantui para orangtua saat ini. Sudah sedemikian dasyatnya paham kebebasan masuk ke dalam setiap sendi kehidupan kita, kebebasan seolah menjadi tuhan baru bagi para remaja sekarang. Dengan alasan kebebasan, banyak remaja melakukan pergaulan bebas. Hal ini didorong pula oleh suguhan tontonan yang membangkitkan syahwat dan yang membuat mereka membayangkan hubungan seks. Jelas ini sangat merusak moral dan akidah anak-anak kita. Selain itu, adanya pemberian pendidikan seks yang keliru bisa mendorong anak-anak kita untuk melakukan hubungan seks sebelum menikah. Contohnya ada beberapa instansi yang mengajarkan pendidikan seks dengan cara memperkenalkan organ reproduksi secara vulgar kepada anak perempuan dan laki-laki dalam waktu yang bersamaan, jadi tidak dipisah. Ini bisa menimbulkan bangkitnya rasa penasaran anak dan parahnya mereka langsung mencobanya. Selain itu, ada juga yang memberikan pendidikan seks dengan cara memperlihatkan tayangan laki-laki dan perempuan yang sedang berhubungan intim. Jelas cara ini justru menjadikan hasrat seks anak-anak kita terbangkitkan karena naluri kecenderungan pada lawan jenis bisa muncul ketika ada rangsangan dari luar. Para orangtua sejatinya lebih berhati-hati dalam masalah ini. Alih-alih mengurangi pergaulan bebas, cara di atas justru semakin menambah deretan angka pergaulan bebas.

Pertanyaan untuk kita semua adalah, mengapa permasalahan di atas bisa muncul? Jika kita teliti lebih dalam maka kita bisa mencermati jawaban dari pertanyaan tersebut ada dua faktor.
Faktor pertama adalah adanya ide kebebasan yang sudah mengakar kuat di kalangan umat islam.
Faktor yang kedua adalah faktor keimanan kaum muslimin yang belum dihasilkan melalui proses berpikir. Keimanan atau keyakinan kepada Allah sejatinya bisa dihasilkan melalui proses berfikir bukan hanya keimanan yang diturunkan dari orang tua. Dengan proses berpikir, seorang muslim menyadari bahwa Allah bukan hanya sebagai Pencipta tapi juga Sang Pengatur. Allah menciptakan manusia lengkap dengan aturan yang tertuang dalam ayat-ayat Al Quran dan Sunnah Nabi saw. Jika keimanan sudah dihasilkan dengan proses berpikir maka akan terwujud keyakinan yang terhujam kuat pada diri seorang muslim. Oleh karena itu seorang muslim akan selalu takut kepada Allah dan merasa diawasi oleh Allah, hal inilah yang mendorong kita untuk terus berupaya melaksanakan aturan-Nya dan berupaya semaksimal mungkin untuk menjauhi setiap larangan-Nya. Hal ini dikarenakan ketakutan kepada Allah melebihi segalanya. Konsep inilah yang harus dipahami oleh setiap muslim, pun para orangtua dalam membekali dan membentengi anak-anaknya dengan akidah. Orangtua yang memahami betul hal ini akan menularkan pemahamannya kepada anak-anaknya. Mengajak anak-anaknya untuk berpikir tentang ciptaan Allah yang dapat memperkuat keimanan anak-anaknya.
Menanamkan akidah kepada anak-anak bukan hanya menyebutkan siapa Tuhan mereka, akan tetapi mengenalkan dan menjelaskan kepada mereka bahwa Tuhannya adalah Allah, Dzat Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu dan Maha Keras Adzabnya. Dengan demikian, kendatipun jauh dari orangtua, anak akan menyadari bahwa setiap perilakunya tidak luput dari pengawasan Allah dan Malaikat. Anak pun bisa terjaga dari pergaulan bebas.
Hal ini yang perlu ditanamkan kepada anak-anak kita.
Penanaman akidah kepada anak juga dilakukan dengan memahamkan bahwa hanya aturan Allah sajalah yang bisa menjadi pemecah permasalahan dalam kehidupan. Islam hadir di muka bumi untuk menyelesaikan semua masalah dengan tuntas. Begitupun terkait dengan pemecahan masalah pergaulan bebas, Islam sebagai din yang sempurna sebetulnya sudah memiliki pengaturan tentang Tarbiyyah Jinsiyyah (pendidikan seks) untuk mencegah pergaulan bebas. Keimanan kepada Allah sejatinya menjadi benteng yang kuat untuk menghadapi permasalahan ini. Benteng iman yang kokoh insya Allah akan bisa menjadi pelindung anak-anak kita supaya tidak melakukan pergaulan bebas. Orangtua sejatinya berupaya mengkondisikan rumahnya dengan jawil iman (suasana iman), sehingga ruh kedekatan dengan Allah sangat terasa di rumah. Pun kita membekali anak-anak kita supaya selalu takut kepada Allah sehingga akan berupaya melaksanakan aturan-Nya dan menjauhi larangan-Nya dimanapun mereka berada sekalipun jauh dari orangtuanya.
Selain memperkokoh benteng akidah, Islam sudah memiliki seperangkat aturan sebagai tarbiyyah jinsiyyah untuk anak-anak kita. Tentunya tarbiyah jinsiyah ini untuk pengaturan seperangkat potensi yang Allah karuniakan kepada umat manusia khususnya untuk mengatur gharizah na’u (naluri berkasih sayang). Merupakan suatu hal yang fitrah jika ada seorang perempuan menyukai laki-laki, begitupun sebaliknya. Namun, hal yang fitrah itu sejatinya tidak dinodai oleh perbuatan maksiat berupa seks pranikah. Allah sudah menurunkan aturan supaya naluri itu bisa tersalurkan dengan baik dan barokah tentunya. Jika anak-anak kita sudah siap untuk menikah, maka nikahkanlah anak kita karena menikah merupakan penyaluran mulia untuk naluri berkasih sayang. Namun, jika anak kita belum siap, maka sambil kita mempersiapkan anak kita maka kita bisa mengkondisikan agar anak-anak kita untuk menjaga hawa nafsunya, salah satunya dengan shaum. Inilah yang dianjurkan oleh nabi kita, Muhammad saw. Dengan shaum, maka akan menjaga setiap perilaku, termasuk bisa terjaga dari perbuatan zina.

Di dalam ajaran Islam terdapat aturan pendidikan seks, tetapi pelaksanaan pendidikan seks tersebut tidak menyimpang dari tuntutan syariat Islam. Jadi, pendidikan seks dapat diberikan kepada anak, manakala berisi pengajaran-pengajaran yang mampu mendidik anak, sehingga anak lebih mengimani, mencintai, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan pendidikan yang diberikan tidak akan membuat anak-anak mengalami krisis moral dengan melakukan pergaulan bebas seperti yang terjadi pada saat ini, karena isi yang diberikan juga sangat berbeda. Diantara pokok-pokok pendidikan seks yang bersifat praktis, yang perlu diterapkan dan diajarkan kepada anak antara lain:

Pertama, menanamkan rasa malu pada anak. Rasa malu harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Jangan biasakan anak-anak walau masih kecil bertelanjang di depan orang lain. Membiasakan anak sejak kecil berbusana muslimah menutup aurat juga penting untuk menanamkan rasa malu, sekaligus mengajarkan pada anak tentang aurat.

Kedua, menanamkan jiwa maskulinitas pada anak laki-laki dan jiwa feminitas pada anak perempuan. Secara fisik maupun psikis, laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan yang mendasar. Perbedaan tersebut telah diciptakan sedemikian rupa oleh Allah. Adanya perbedaan ini bukan untuk saling merendahkan, namun semata-mata karena fungsi yang kelak akan diperankannya.

Mengingat perbedaan tersebut, maka Islam telah memberikan tuntunan agar masing-masing fitrah yang telah ada tetap terjaga. Islam menghendaki agar laki-laki memiliki kepribadian maskulin, dan perempuan memiliki kepribadian feminin. Islam tidak menghendaki wanita menyerupai laki-laki, begitu juga sebaliknya. Untuk itu, harus dibiasakan dari kecil anak-anak berpakaian sesuai dengan jenis kelaminnya. Dan perlakukan mereka sesuai dengan jenis kelaminnya juga.
“Dari Ibnu Abbas ra berkata: “Rasulullah SAW melaknat laki-laki yang berlagak wanita, dan wanita yang berlagak meniru laki-laki. Dalam riwayat yang lain: “Rasulullah SAW melaknat laki-laki yang meniru wanita dan wanita yang meniru laki-laki”. (HR. Bukhari).

Ketiga, memisahkan tempat tidur. Usia antara 7 hingga 10 tahun merupakan usia dimana anak mengalami perkembangan yang pesat. Anak mulai melakukan eksplorasi ke dunia luar. Anak tidak hanya berfikir tentang dirinya, tetapi juga mengenai sesuatu yang ada di luar dirinya. Pemisahan tempat tidur merupakan upaya untuk menanamkan kesadaran pada anak tentang eksistensi dirinya. Bila pemisahan tempat tidur tersebut terjadi antara dirinya dan orang tuanya, maka setidaknya anak telah dilatih untuk berani mandiri. Anak juga dicoba untuk belajar melepaskan perilaku lekatnya dengan orang tuanya. Bila pemisahan tempat tidur dilakukan terhadap anak dengan saudaranya yang beda jenis kelamin, maka secara langsung ia telah ditumbuhkan kesadarannya tentang eksistensi perbedaan jenis kelamin. Pemisahan tempat tidur ini diwajibkan sesuai hadits Rasul saw:
“Suruhlah anak-anakmu untuk mengerjakan shalat ketika mereka berusia 7 tahun, dan pukullah mereka jika enggan menunaikannya ketika sudah berumur 10 tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka”. ( HR. Abu Dawud)

Keempat, mengenalkan waktu berkunjung (meminta izin dalam 3 waktu). Tiga ketentuan waktu yang tidak diperbolehkan anak-anak untuk memasuki ruangan (kamar) orang dewasa kecuali meminta ijin terlebih dahulu adalah, sebelum shalat subuh, tengah hari, dan setelah shalat isya. Aturan ini ditetapkan mengingat diantara ketiga waktu tersebut merupakan waktu aurat. Yakni waktu dimana badan atau aurat orang dewasa banyak terbuka. Bila pendidikan semacam ini ditanamkan pada anak, maka ia akan menjadi anak yang memiliki rasa sopan santun dan etika yang luhur. Sehingga dengan penerapan aturan ini, maka anak juga terjaga dari melihat hal atau aktivitas orang dewasa yang tidak layak dilihat. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
”Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar) mu di tengah hari dan sesudah shalat Isya. (Itulah) tiga `aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An Nuur: 58-59)

Kelima, mendidik menjaga kebersihan alat kelamin. Mengajarkan anak untuk menjaga kebersihan alat kelamin selain agar bersih dan sehat sekaligus juga mengajarkan pada anak tentang najis. Juga harus dibiasakan anak untuk buang air pada tempatnya (toilet training).

Keenam, mengenalkan mahramnya. Tidak semua perempuan berhak dinikahi oleh seorang laki-laki. Siapa saja perempuan yang diharamkan dan yang dihalalkan, telah ditentukan oleh syariat Islam. Ketentuan ini harus diberikan pada anak agar ditaati. Siapa saja mahram tersebut, Allah SWT telah menjelaskan dalam Surat An-Nisa’:22-23.
”Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Ketujuh, mendidik anak agar selalu menjaga pandangan mata. Telah menjadi fitrah bagi setiap manusia untuk tertarik dengan lawan jenisnya. Namun jika fitrah tersebut dibiarkan bebas lepas tanpa kendali, justru hanya akan merusak kehidupan manusia itu sendiri. Begitu pula dengan mata yang dibiarkan melihat gambar-gambar atau film yang mengandung unsur pornografi. Jauhkan anak-anak dari gambar, film, bacaan yang mengandung unsur pornografi dan pornoaksi.
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". (QS An Nuur: 30)

Kedelapan, mendidik anak agar tidak melakukan ikhtilat. Ikhtilat adalah bercampur baurnya antara laki-laki dan perempuan bukan mahram tanpa keperluan yang keperluan yang dibolehkan oleh syariat Islam. Perbuatan semacam ini pada masa sekarang sudah dinggap biasa. Mereka bebas mengumbar pandangan, saling berdekatan dan bersentuhan. Seolah tidak ada lagi batas yang ditentukan syara’ guna mengatur interaksi diantara mereka. Dilarang ikhtilat, karena interaksi semacam ini bisa sebagai perantara kepada perbuatan zina yang diharamkan Islam. Bila ikhtilat dibiarkan, maka pintu-pintu kemaksiatanpun akan terbuka lebar. Dan akan membawa dampak kepada kerusakan kehidupan manusia. Jangan biasakan anak diajak ke tempat-tempat yang di dalamnya terjadi percampuran laki-laki dan perempuan secara bebas.

Kesembilan, mendidik anak agar tidak melakukan khalwat. Dinamakan khalwat apabila seorang laki-laki dan wanita bukan mahramnya, berada di suatu tempat, hanya berdua saja. Dan biasanya memilih tempat yang tersembunyi, yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Sebagaimana ikhtilat, khalwatpun merupakan perantara bagi terjadinya perbuatan zina. Anak-anak sejak kecil harus diajarkan untuk menghindari perbuatan semacam ini. Bila bermain, bermainlah dengan sesama jenis. Bila dengan yang berlainan jenis, harus diingatkan untuk tidak berkhalwat.
“Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali disertai mahram. karena yang ketiganya adalah setan” (H.R. Ahmad)

Kesepuluh, mendidik etika berhias. Berhias, jika tidak diatur secara Islami akan menjerumuskan seseorang pada perbuatan dosa. Berhias berarti usaha untuk memperindah atau mempercantik diri agar bisa berpenampilan menawan. Tujuan pendidikan seks dalam kaitannya dengan etika berhias agar berhias tidak untuk perbuatan maksiat.
“dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
(QS Al Ahzab: 33)
“Wanita mana saja yang memakai wewangian, lalu dia berjalan melewati suatu kaum supaya kaum itu mencium aroma wewangiannya, berarti dia telah berzina,” (HR. Ahmad. An Nasai, Abu Dawud, At Tirmidzi)

Kesebelas, mangajarkan tentang Ihtilam, haid serta konsekuensinya. Ihtilam adalah tanda anak laki-laki sudah mulai memasuki usia baligh. Sedang haid dialami oleh anak perempuan. Mengenalkan anak tentang ihtilam dan haid tidak hanya sekedar untuk bisa memahami anak dari pendekatan fisiologis dan psikologis semata. Apabila terjadi ihtilam dan haid Islam telah mengatur beberapa ketentuan yang berkaitan dengan masalah tersebut. Antara lain misalnya kewajiban untuk melakukan mandi wajib. Dan yang paling penting, ditekankan bahwa kini mereka telah menjadi muslim dan muslimah dewasa yang wajib terikat pada semua ketentuan syariah. Artinya mereka harus diarahkan menjadi manusia yang bertanggungjawab atas hidupnya sebagai hamba Allah yang taat.

Aturan Islam tentang pendidikan seks ini sejatinya bisa dipahami oleh setiap muslim terlebih bagi para orangtua saat mendidik putra putrinya. Inilah yang menjadi bekal bagi kita untuk menjaga anak-anak kita dari virus kebebasan. Namun, ini semua tidak hanya menjadi tanggung jawab para orangtua dalam institusi keluarga. Dalam hal ini, masyarakat memegang peranan penting untuk mengkondisikan agar setiap anak-anak kita tetap menjalankan aturan Allah. Masyarakat sejatinya menjalankan amar ma’ruf nahi munkar sebagai bentuk kepedulian dan penjagaan terhadap anak-anak kita. Perlu diwujudkan suasana saling menasehati dan saling memelihara satu sama lain, hal ini dikarenakan umat Islam bersaudara dan bagaikan satu tubuh. Dengan demikian, anak-anak kita tidak hanya terkondisikan di rumah, tapi juga di lingkungan sekitar yaitu saat mereka beraktifitas di luar rumah. Tak kalah penting, negara pun sejatinya bisa melindungi kemuliaan umat dan menjaga anak-anak kita dengan penerapan aturan Allah. Keberadaan negara sangatlah penting karena negara memiliki kewenangan untuk menerapkan aturan. Tentunya pelaksanaan aturan Allah secara kaffah tidak bisa dilakukan dalam negara yang menganut aturan kebebasan. Pelaksanaan aturan Allah secara kaffah hanya bisa dilakukan dalam negara yang menerapkan aturan Islam yaitu Khilafah Islamiyah. Dengan demikian solusi tuntas untuk mengatasi permasalahan pergaulan bebas adalah dengan penerapan aturan Allah secara kaffah dalam wadah Daulah Khilafah Islamiyyah.
Wallahu a’lam bishawab. Allahu Akbar!

Kamis, 11 November 2010

Tersisakah Keimanan di Hatimu?

Oleh Anung Umar

Ketika sedang membahas tentang permasalahan hukum menikahi seorang pezina, beberapa hari lalu di kelas, tiba-tiba dosen yang mengajar berkata (dalam bahasa Arab, yang artinya kurang lebih), “Zina itu aib, makanya ketika seseorang melakukan zina, jangan disebar luaskan berita tentang perbuatannya. Karena, kalau mendengar sekali, mungkin orang merasakan risih dengannya, akan tetapi kalau beritanya tersebar dan berulang-ulang, orang-orang pun akhirnya akan menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa. Makanya ada pepatah Arab yang berbunyi: ‘Bila sering terjadi kemaksiatan, maka sensitivitas (hati) pun berkurang. Dan bila sensitivitas berkurang, maka dikhawatirkan akan terjatuh pada kemaksiatan. “

Beliau juga berkata, “Dulu ketika saya baru menginjakkan kaki saya di negeri ini, melihat banyaknya wanita tabarruj (berhias untuk selain suami di muka umum), gelisah rasanya hati ini, tak kuat rasanya tinggal di sini. Karena di negeri saya, tak pernah saya melihat seorang wanita pun kecuali tertutup semua. Akan tetapi, setelah berlalu beberapa waktu di sini, perasaan itu mulai berkurang. Akhirnya timbul ‘toleransi’ sedikit demi sedikit, sampai akhirnya, yang saya lihat itu seakan-akan suatu yang biasa. Kalau dulu awal-awal di sini melihat wanita tabarruj saja, tidak betah, tapi sekarang, jangankan wanita tabarruj, melihat wanita ‘telanjang’ di jalan, pasar dan tempat publik lainnya pun seperti biasa saja. Saya jadi takut atas keimanan saya. Karena kalau rasa benci dan pengingkaran seseorang terhadap kemaksiatan berkurang dan terus berkurang, dikhawatirkan keimanannya akan hilang pula.”

Subhanallah! Meskipun engkau sebutkan borok-borok di negeri kami, saya tidak tersinggung, ustadz. Karena memang demikian adanya. Memang alangkah banyak kemaksiatan di negeri kami. Kami bisa “menikmatinya” di mana-mana: di TV, jalan, pasar, bis kota dan tempat-tempat lainnya. Kita dihadapkan dengan era di mana umbar aurat dan kemaksiatan dengan berbagai bentuknya merupakan suatu yang “lumrah” bahkan menjadi “tren”. Makin sempit dan ketat pakaian, maka makin “modern”, “gaul” dan “trendi”. Makin diumbar kecantikan, maka makin menampakkan “aura positif”. Sebaliknya, makin lebar pakaian, dan makin tertutup postur tubuh, maka makin “kuno”, “jadul” ,makin kembali ke “zaman unta.”

Dan yang dikhawatirkan, bila semua itu telah merajalela di mana-mana, maka orang yang “tak bersalah” pun akan merasakan getahnya. Kalau ia tidak berubah 100% menjadi barisan mereka, setidaknya, sedikit-banyak ia akan terwarnai dengan gaya hidup mereka. Wallahulmusta’an.

Kalau engkau takut, wahai ustadz, dengan keimanan yang ada pada dirimu, karena banyaknya kemaksiatan di sini, apalagi saya tentunya, yang lebih sedikit ilmu dan pengalamannya dibandingmu. Saya pun takut, jangan-jangan keimanan saya hampir menghilang. Bagaimana tidak, setiap hari disuguhi “panorama” orang-orang yang berpakaian “ala kadarnya”, “berpakaian tetapi telanjang” di jalan, di bis kota, seakan-akan tak ada “apa-apa” di hati saya. Saya tak merasakan gejolak darah yang mendidih, hati yang resah, dan badan yang bergetar ketika disajikan pemandangan seperti itu. Astaghfirullah, apakah sudah bebal hati ini? Sungguh, butuh kesabaran ekstra menjaga keimanan di zaman penuh fitnah ini!

Saya berdoa kepada kepada Allah, semoga terus memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada saya agar bisa istiqomah dalam agama-Nya dan teguh dalam menjalankan syariat-Nya. Dan saya juga memohon kepada-Nya agar memenuhi hati ini dengan kecintaan dan ketaatan kepada-Nya dan juga kecemburuan terhadap agama-Nya serta kebencian terhadap segala pelanggaran terhadap syariat-Nya, hingga akhir hayat nanti, hingga malakul maut menghampiri. Amin..

Sabtu, 06 November 2010

Kelakuan Densus 88 Makin NORAK, CHILDISH!!!

Emang sih ga diragukan kalau densus juga manusia, tapi kok ga yakin ya kalau hatinya itu masih berlabel ‘hati manusia’ yang punya peri kemanusiaan?? Berbekal senjata yang berisi peluru baja, mungkin mereka pikir gayanya itu sudah cukup gagah untuk menyandang gelar pahlawan negara anti teroris. Kemudian tanpa ragu mereka membidikkan senjata itu kepada orang – orang polos yang tidak tahu menahu duduk masalahnya. Dan ironisnya mereka ‘terlalu sering’ menjudge orang yang tidak tepat, bahkan bukan sekedar menjudge tapi parahnya menembak orang yang sebenarnya tidak berdaya melakukan perlawanan. Kelakuan densus semakin membabi buta dengan melontarkan berbagai tuduhan yang mengada – ada.

Di Medan, tersebutlah sebuah keluarga sederhana yang sedang berbaring di tempat tidur butut di rumah berdinding papan dan berlantai tanah. Tiba – tiba muncul segerombolan orang bersenjata. Tanpa babibu, secepat kilat peluru melesat tepat mengenai jantung sang suami. Tindakan tersebut didasari tuduhan atas keterlibatan kasus perampokan CIMB Niaga dan tudingan bahwa ada TNT dirumahnya. Namun setelah di usut, ternyata tuduhan tidak terbukti.

Di Belawan, Densus juga menangkap 2 orang pria yang dituduh terlibat dalam penyerangan Mapolsek Hamparan Perak. Mereka menjadi korban pemaksaan opini di hadapan kamera televisi bahwa di Gunung Sibayak ada pelatihan militer para teroris. Namun setelah diperiksa, inipun tidak terbukti. Karena kenyataannya mereka sedang ikut camping bersama 15 orang lainnya.

Kedua kasus di atas hanya merupakan contoh saja, nampak begitu arogannya sebuah lembaga kepolisian. Dan masih banyak kasus lain yang menunjukkan sikap brutalnya densus. Tak jarang merekapun menganiaya sasaran, menendang, menginjak-injak dan lain sebagainya.

Mungkin saat ini di mata masyarakat densus tidak lebih seperti anak – anak yang sedang membuat lelucon. Sewaktu – waktu menembak orang dengan tuduhan teroris seenak jidatnya. Tidak lama setelah itu diberitakan salah sasaran. Nah kalau tidak ditembak, pelakunya ditangkap, setelah diusut ternyata juga salah sasaran. Kemudian si korban dibebaskan tanpa melakukan klarifikasi atau meminta maaf serta rehabilitasi terhadap kekeliruan yang telah dilakukan.

Padahal logikanya, kalo densus itu mau nangkap teroris kenapa pelaku yang dicurigai tidak diinterogasi dulu? Diproses secara hukum supaya terungkap jaringan – jaringan yang sesungguhnya. Toh sejauh ini pelaku yang dituduh sebagai teroris itu ketika digrebeg hanya pasrah, tidak bisa membela diri menghadapi panasnya pelor aparat. Tapi kenapa densus berhasrat sekali mengeksekusi orang – orang tersebut tanpa membiarkannya memberi kesaksian terlebih dulu? Dan walhasil selalu berujung pada salah sasaran. Apakah tindakan seperti ini justru tidak menyalahi hukum dan HAM dengan melakukan extra judical killing?

Tapi alih – alih Densus dijerat aparat karena telah melanggar hukum dan HAM, yang ada keberadaannya semakin kuat dengan anggaran yang diusulkan oleh DPR untuk densus 88 sejumlah 60 Milyar pertahun. Padahal pemerintah hanya mengusulkan sebesar 9 milyar pertahun. Belum lagi pemerintah sedang mengajukan revisi UU Anti Terorisme dan UU Intelegen.

Rada mengesankan, dulu sebelum Gedung Kembar WTC runtuh sepertinya jarang terdengar gaung teroris. Tapi setelah kejadian itu, ‘teroris’ menjadi hantu yang begitu menakutkan bagi banyak negara. Termasuk Indonesia salah satunya. Sampai akhirnya dibentuklah Detasemen Khusus 88 Anti Teroris.

Berikut saya kutip dari media umat edisi 46 :
Anehnya ada hal yang tidak nyambung antara aksi dan motivasi. Kalaupun aksi terorisme dimaksudkan untuk melawan Amerika, nyatanya justru tidak ada instalasi penting AS di Indonesia yang jadi sasaran. Jubir HTI yakin bahwa terorisme yang selama ini terjadi adalah fabricated terrorism atau terorisme yang diciptakan.
Bagaimana bisa terjadi ? menurutnya ada lima langkah operasi intelijen yang harus di waspadai yang terangkum dalam 5i, yakni :
Infiltrasi
Radikalisasi
Provokasi
Aksi
Stigmatisasi
Infiltrasi ini dilakukan terhadap kelompok islam yang memiliki semangat perlawanan. Lalu radikalisasi dipompa untuk lebih bersemangat melawan. Adapun provokasi didorong untuk melakukan tindakan. Dan aksi digerakkan malakukan tindakan konkrit berupa penyerangan di sejumlah sasaran. Akhirnya dilakukan stigmatisasi sehingga tercipta stigma bahwa indonesia adalah sarang teroris, pelakunya kelompok fundamentalis dan mereka yang akan menegakkan islam secara kaffah.
Wallahualam bishawab.